Cerita Birahi Terbaru : Sampai Jumpa Lagi, Natasha Devi

cerita seks abg, cerita daun muda, cerita panas

Cerita Birahi Terbaru: Sampai Jumpa lagi, Natasha Devi – Aku sedikit minggir di tepi jalan pada saat dari arah belakang melaju sepeda motor 2tak yang suaranya lebih mirip seperti dengung ribuan lebah, yang terlihat kepayahan sedang membawa beronjong penuh berisi sayuran sehingga aku agak melompat untuk menghindar dari genangan air yang membentuk seperti danau dijalan yang tengah aku lewati.

Pagi yang masih sepi karena memang sekarang masih jam 05.30 ditambah bahwa saat ini adalah hari minggu dan malam tadi juga hujan turun dengan begitu deras, sehingga aku yakin lengkaplah sudah alasan bahwasanya untuk saat ini orang-orang masih asyik bercengkerama dengan selimut yang mereka katupkan diatas tubuh masing-masing.

Aku baru saja membeli rokok di warung kelontong Pak Binah yang berjarak 125m dari tempat kostku, didaerah Taman Siswa. Sebenarnya sih tepat didepan rumah kost ada warung makan yang juga menjual rokok baik per bungkus ataupun ketengan, tapi hari ini kok tumben belum buka? Padahal biasanya setiap jam 05.00 sudah siap melayani pelanggan.

Pemilik warung makan itu sangat baik orangnya. Bahkan saking baiknya hampir semua anak kost pada dibolehin ngutang ketika tanggal tua mulai menghampiri. Didalam hati, aku sebenarnya kasihan juga sama Pak Sronto pemilik warung, karena anak-anak kost yang kebanyakan masih mahasiswa itu sering kali ngutang meski masih tanggal muda.

Disebelah warung makan ada kios tambal ban yang juga menjual bensin eceran punya Mas Kuriman yang berperawakan tinggi rada kerempeng. Dia orangnya juga seru dan baik. Intinya, beliau-beliau adalah orang yang menyenangkan dan jauh dari kata membosankan.

Diantara kami –kost’ers dan warung’ers- memang terjalin keakraban yang luar biasa sehingga Pak Sronto itu sudah dianggap sebagai Bapak, bisa dianggap sebagai teman, sahabat, bahkan tak jarang ada juga yang suka curhat. Ada salah satu anak kost sini panggilannya Jambul, dia terkenal kocak dan paling akrab dengan Pak Sronto maupun Mas Kuriman.

Pernah ada kejadian lucu sewaktu diantara mereka berdua dan kebetulan aku tahu sendiri peristiwa yang sampai sekarang bisa bikin aku ketawa-ketiwi sendiri. Waktu itu siang hari di tengah bulan Ramadhan. Aku yang lagi asyik ngisi TTS di teras lantai II kamar kost, tiba-tiba dikejutkan suara cempreng Jambul…

“Assalamu’alaikum, Pak Srontoo!! Assalamu’alaikuuum!” ucapan Jambul yang bernada sedikit rada keras menarik perhatianku untuk melihatnya dari lantai II kost-an.

Tampak warung makan Pak Sronto memang buka pada saat bulan Ramadhan.

“Ooh kamu thow, Mbul. Kenapa?” sahut Pak Sronto kalem.

“Pak, ini kan lagi bulan puasa, warungnya sedikit ditutupin selambu atau ditutup pake tirai gitu kek biar ada toleransi dong. Gimana sih?! Masak dibiarkan kebuka kaya gini? Kalau gini caranya ganggu yang lagi puasa, Paak, jadi pada ga khusyuk!!” cerocos Jambul sok di depan warung belagak marah.

Huuh!! Gaya si Jambul udah kaya Pak Ustadz aja..

“Ooh iya. Sori deh, Mbul. Lali durung tak pasang. Sik dilut..” Pak Sronto pun segera tergopoh-gopoh mengambil kain bekas spanduk, dan tak lama kemudian sudah sibuk merentangkan kain untuk sedikit menutup warung makan sebagai bentuk rasa bertoleransi bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Setelah beberapa saat, akhirnya Pak Sronto selesai memasang kain. Dan tak lama berselang, Jambul pun memasuki warung seraya berujar,

“Naah, kalau gini kan enaaak. Es teh manis satu yaa, Pak!” ucap Jambul yang sempet aku dengar. Katsau dah! Hahahaa..

“Wee ladhalaah, sontoloyo!! La kok malah.. Biar ga ketahuan sama temen-temenmu kalau lagi ngesteh gitu? Woo, pokil lee!! koe ra poso ngopo (kamu ga puasa kenapa)??” seru Pak Sronto yang kaget ternyata Jambul sendiri yang malah ga puasa.

“Hahahaa!! Libur dulu Pak. Tadi ga dibangunin temen-temen pas saur..” tukas Jambul enteng dalam berdalih.

Aku yang mendengar celoteh Jambul pada mulanya hanya tersenyum simpul tapi akhirnya tergelak juga..Hahahaa!!

*****

Aku berhenti berjalan didepan gerbang rumah kost. Menyulut rokok sebentar sebelum akhirnya terdengar suara seseorang yang menyapa hangat,

“Pagi Mas Rey, tumben sudah jalan-jalan..”

“Ooh!! Pagi juga Pak Sronto. Iyaa ini Pak, sekalian cari rokok. Eh kok baru buka sih warungnya?” ujarku dan kemudian menghembuskan asap rokok.

“Tadi belanja dulu di Beringharjo diantar Kuriman naik motor jadi yaa rada telat bukaknya Mas..” jawab Pak Sronto seraya menampilkan senyum. Senyum yang melindungi dari seseorang yang di Bapakkan oleh anak-anak kost disini.

“Ooo gitu yaa, Pak. Ya udah tak kedalam dulu. Ooh iyaa, sekalian bikinin kopi hitam, Pak ..”
“Iya, Mas Rey. Siap! Ntar tak anter ke kamar..”

Ryan Kertagama, itulah tulisan nama seorang bayi laki-laki imut yang tertera di secarik kertas yang menutupi nasi putih yang dicetak, se-plastik gule kambing, acar+cabe, buah jeruk, dan kerupuk udang di dalam sebuah box nasi kotak Aqiqahan di saat aku terlahir di dunia yang katanya indah ini. Tapi aku lebih akrab dipanggil, Rey.

Disini aku kost bersama temen-temen yang kebanyakan diantara mereka masih berkutat dengan bangku kuliah dan berpusing-pusing ria dengan banyaknya tugas membikin makalah, papper, kuis, dan melakukan berbagai penelitian.

Aku sendiri sudah ngawulo di sebuah perusahaan multinasional yang mempunyai kantor pusat berkedudukan di negara yang pernah dipimpin Hitler, dan beruntungnya aku, perusahaan anak cabang yang sekarang ini tengah mempromosikan aku untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi dengan mengirimkan aku ke negaranya Mesut Oezil, Jerman.

Besok senin aku sudah harus berangkat untuk menggapai impian dan cita-cita tinggi seperti yang selama ini sering aku dan mantanku bicarakan. Eh, mantan? Ngg.. Bukannya sebutan mantan itu adalah kalau misal kita sudah putus hubungan jalinan asmara dengan kekasih, terus kemudian dia melanjutkan hidupnya sendiri dan kita pun juga melanjutkan kehidupan kita sendiri? The Life’s must go on. Iyaa kan? Mmm.. Tapi, kalau penyebab putusnya itu dikarena kekasih kita……….

*****

Aku memandangi tembok kamar kost yang warna cat dindingnya sudah tampak buram. Jarum jam dinding pun juga sudah enggan untuk bergerak lagi seiring dengan sesuatu yang telah menghilang dari dalam hatiku. Foto-foto yang terbingkai indah masih tertata rapi. Hasil cetak bentuk bibir berlipstik merah pun setia menempel di cermin rias. Coretan usil temen-temen kost juga bertebaran di balik pintu kamar dan di sudut tembok dalam kamar, yang mana sebentar lagi dalam hitungan jam akan menjadi sebuah kenangan bagiku.

Aku tersenyum kecil saat membaca beberapa coretan dinding.. ‘Aku akan selalu mengingatmu sampai aku lupa by -Jambul-‘ ada lagi ‘Panas cintamu tak sepanas knalpotku’ terus juga ada ‘Utamakan klayapan’ udah gitu ada juga Mangan ra mangan tetep kumpul, yo moddaar lee!!’ dan masih ada beberapa coretan lucu lainnya entah siapa yang menulis aku sendiri pun tidak tahu.
Travelbag gede yang sudah aku siapkan teronggok manis disudut kamar didekat lemari pakaian. Pada saat aku akan menggeser lemari pakaian karena salah satu srempang dari travelbag ku terjepit oleh kaki lemari, mata ku menangkap sebuah benda berbentuk kotak berwarna hitam.

“Nggg.. Seperti wadah kepingan CD..” gumamku seraya menggapai benda tersebut. Tampak kotor berselimut debu.

“CD apa yaa? Kok bisa ada dibawah lemari pakaian? Perasaan semua CD udah aku kasih tempat khusus..” pikir ku heran sambil menimang-nimang CD yang barusan aku dapatkan dari kolong lemari.

Aku berusaha keras untuk mengingat dari manakah CD ini berasal? Keningku berkerut beberapa saat sampai pada akhirnya aku tahu bahwa CD ini adalah pemberian dari Pak Danu yang diutus oleh seseorang di masa lalu ku, dimana dulu saat memberikan kepingan CD ini, Pak Danu menaruhnya didalam plastik bercampur dengan pakaianku. Wajah tuanya masih menyiratkan sisa kesedihan kala itu.

“Mas Rey, ini bajunya yang kemarin ketinggalan dirumah. Sama ada CD juga, tempo hari Ndoro Puteri–Mama seseorang dimasa laluku- pesan untuk dikasihkan ke Mas Rey.” Begitulah kalimat Pak Danu pada saat memberikannya padaku.

“Hmm.. Ga ada salahnya kalau aku setel..” gumamku lirih sembari memasukkan kepingan CD itu untuk memutarnya.

PLAY ON.. Dan keping CD pun mulai berputar. Aku tercekat begitu tau apa yang tertampilkan di layar monitor. Samar-samar bidikan object dari lensa sebuah handycam itu masih gelap dan tampak bergoyang sesaat sebelum akhirnya fokus…

“Natashaa!” pekikku tertahan. Kaget. Bergetar suaraku saat mengucapkan namanya. Perasaan hangat menyebar ke seluruh tubuhku tatkala wajah cantiknya yang segar dan lucu itu tengah tersenyum.

Melihat wajah ceria Natasha Devi yang ada di layar monitor komputer pada saat dia berada disebuah gerai waralaba itu membuatku teringat akan moment-moment indah ketika menikmati perjalanan hidup bersamanya. Dan gambar film dari handycam itu telah menjejakkan sebuah ingatan yang sangat dalam dan ga mungkin aku lupa. Hmm..Jejak impian dan harapan yang telah terkubur seiring berjalannya waktu. Secara tidak sadar, aku pun menggali kembali kenangan itu dengan sebuah sekop. Yaah.. Aku sadar walau dengan sekop itu pula hatiku pernah terkubur.

*****

“Halo sayaaang.. Thanks yaa udah mau dateng aku ajakin makan siang. Pasti ngerepotin. Hehee..” sapa hangat Natasha, kekasihku, seraya ber-cipika-cipiki.

“Hai juga Nat! Buat kamu apa sih yang enggak? Hehehee. Lagian juga ga repot kok..” sahutku kalem seraya membalas cipika-cipikinya. Aku sempat melirik kearah meja dimana ada obat sakit kepala seperti yang biasa Natasha minum.

“Iiih.. Bisa aja kamu. Oh iya, mau pesen apa?”

“Kopi hitam aja..”

“Minum doang? Kamu ga makan, sayang?”

“Minum aja deh Nat, perut lagi ga bisa diajak kompromi nih. Kalau kamu laper makan aja, aku temenin gapapa..”

“Masih sering pusing?” imbuhku.

“Iya sayang. Tapi ga papa kok kan udah sedia obat, hehe. Oke deh, kalau begitu, aku pesen Vegetables Lasagna aja sama Lemon Squash..” bilang Natasha seraya memanggil Waiter untuk menyerahkan orderan.

“Eh.. Ntar malem jadi ke pasar malam kan, Rey?” ujar kekasihku mulai membuka percakapan. Sementara jemari lentiknya melepas kancing blazer yang dikenakannya.

Natasha Devi, seorang wanita yang pernah melukis di hatiku dengan cintanya. Hmm dulu sebelum mengenalnya, hatiku sempat monokrom hingga kehadirannya membuat perasaan di hati bak pelangi.

Perkenalanku dengan Natasha pun boleh dibilang tidak sengaja. Ada saudaraku dari Batam yang kepengen membeli sebuah Apartement yang harganya mungkin berkisar ratusan juta rupiah yang ga akan mampu aku membelinya walau bekerja seumur hidup.. Haha!!

Dan dari situlah aku mengenalnya. Bertemu dengan seorang Sales Executive Marketing untuk membahas pembelian sebuah apartemen. Elegant dan smart kesan pertama saat aku berjumpa dan ngobrol dengannya. Aku yang selama ini sangat-sangat tidak percaya dengan yang namanya Cinta Pada Pandangan Pertama, akhirnya harus terkena kutukan cinta yang paling indah dan membuatku bahagia. Aku jatuh cinta, dia jatuh cinta. Aku tawarkan secawan cinta, dia menyambutnya. Baru kali ini aku bisa merasakan cinta yang sesungguhnya. Klop dan semuanya tampak mudah bagiku.

Natasha juga seseorang yang sangat unik. Dia selalu membawa handycam kemana saja dia pergi. “Aku ingin membuat hidupku menjadi seperti sebuah film dokumenter..” begitu alasannya saat aku menanyakan akan hal itu.

“Ini kopi hitamnya Mas, silahkan diminum..” ucap Pak Sronto ramah.

Aku mengalihkan pandangan dari layar monitor komputer untuk menghampiri Pak Sronto yang tengah membawakan kopi hitam pesananku tadi.

“Makasih Pak Sronto. Berapa Pak, kopinya?” sembari ku hirup kepulan harum aroma kopi.

“Udah ga usah Mas. Tinggalan uang kemarin masih cukup kok.”

“Bener nih, Pak??”

“Bener, Mas..”

“Iya deh kalau gitu. Makasih banyak yaa Pak..”

“Sami-sami Mas Rey. Hehee..”

Pada saat aku kembali melihat kearah layar monitor, disitu terlihat suasana pasar malam yang meriah ramai penuh dengan pengunjung. Tua, muda, cowok, cewek, remaja, dewasa, anak-anak, dari yang bersandal jepit sampai yang bersepatu berbaur dengan keasyikan masing-masing. Kalau di kota Solo atau Djokdja, pasar malam itu lebih terkenal dengan sebutan Sekaten.

Berbagai macam mainan sederhana terlihat dijubeli para pegunjung. Aneka mainan dan cinderamata khas pasar malam seperti hiasan dari gerabah, gasing, kodok-kodokan, dan kapal api yang berbahan bakar minyak klentik/goreng pun ada. Martabak populair, dodol kelapa, es dawet Pak Mbolon, kembang gula-gula atau arum manis pun juga tersedia saling melengkapi dan tak mau kalah untuk menyemarakkan hangatnya suasana pasar malam.

Hmm.. Benar-benar tradisional. Seorang gadis cantik bertubuh lencir itu juga tak mau ketinggalan untuk meleburkan diri bersama atmosphere yang ada. Natasha membeli berondong warna warni yang dibungkus dengan plastik es lilin panjang, yang dibentuk seperti sepeda balap. Hihihii lucu…

Natasha Devi pun tetap terlihat cantik dan modern diantara semua yang berbau tradisional tersebut. Dengan mengenakan sweater warna biru muda dipadu dengan celana jeans pensil, kekasihku tampil casual. Handycam kesayangannya pun tak pernah lepas dia shoot-kan ke berbagai penjuru arah arena Sekaten.

“Gimana, Nat? Asyik ga suasana dan pertunjukannya?” tanyaku setelah kami berdua melihat atraksi Tong Setan.

“Wah gila, Rey! Ternyata seru juga yaah. Baru kali ini semenjak masa kecil Nat main-main ke arena pasar malam lagi. Walau tradisional, tapi ga kalah sama permainan modern macam Kora-Kora..” ucap Natasha dengan mimik wajah gembira.

“Pertunjukan Tong Setannya juga serem. Bener-bener memacu adrenalin..” imbuh kekasihku kagum.
Tong Setan adalah sebuah aksi akrobat motor didalam sebuah tong raksasa yang mempertontonkan kelihaian para jokie pengendara motor pada saat mengelilingi bagian dalam tong dengan manuver melingkar untuk melawan tarikan gaya grafitasi bumi.

“Ya iyalah. Kora-Kora, Halilintar, dan yang lain itu kan berasal dari permainan tradisional yang telah di-modernisasi..” tukasku cepat.

“Kalau yang itu apa, sayang? Kok bau kemenyan? Bikin merinding aja, mana kedengeran suara-suara serem lagi..” lanjut Nat sembari menunjuk kesebuah tempat yang di dekorasi seperti Kastil tua penuh aura horor.

Tentunya Kastil yang hanya terbuat dari tumpukan kayu dan batang bambu sederhana yang ditata sedemikian rupa membentuk sebuah bangunan kemudian ditutupi triplex dan digambari berbagai macam bentuk makhluk gaib dengan cat warna gelap biar terlihat semakin serem.

“Ooh itu namanya Gua Mangleng, Nat. Tempat uji nyali kalau kepengin ketemu sama hantu. Mau coba?” tanyaku dengan tersenyum geli.

“Ogah ah!! Ngapain juga. Hantunya beneran?” Natasha masih penasaran dengan Gua Mangleng.

“Ya enggak lah. Cuma orang yang didandani mirip kaya hantu gitu. Tapi tetep aja serem, aku aja takut kok. Hiiii..”

“Yee! Dasar penakut..” sahut Natasha seraya berusaha mencubit kedua pipiku dengan gemas.

Aku cuma tergelak dengan ulahnya. Sungguh semua ini membuat kami merasakan benar-benar menjadi rakyat kecil. Sungguh semua kesederhanaan yang disajikan di pasar malam ini membuat kebahagian tersendiri. Aku bisa tahu kalau Natasha sangat bahagia dan dia pun juga paham kalau aku lebih bahagia. Bersamanya semua terasa berwarna.

“I love you, Nat..” bisikku lirih di dekat telinganya saat kami berdua duduk lesehan menikmati sedapnya Wedang Dongo dan lezatnya jagung bakar.

Natasha Devi tersenyum kecil, kemudian meneguk tegukan terakhir dari kopi hitamnya.

“I love you too, Rey..” “Eh Rey. Minta rokoknya dong!” pinta Jambul yang tiba-tiba nongol di kamarku dan mengambil sebatang rokok mild kegemaranku. Wajahnya masih kusut setelah bangun tidur, tangannya memegang secangkir teh atau kopi, aku ga tahu. Tapi yang jelas dia telah memotong bayang-bayangku tentang Natasha.

“Thanks yaa Rey. Lu emang baik deh.” Jawab Jambul seraya ngeloyor pergi untuk kembali ke kamarnya.

Aku segera beranjak untuk mengunci pintu. Membakar rokok untuk sekedar mengotori paru-paruku sendiri. Hembusan panjang asap rokok itu mewakilkan isi hati dan perasaan bahwa semua kebahagian yang selama ini aku rasakan bersama Natasha, semua cita-cita yang aku bangun bersama kekasihku telah lenyap begitu saja. Seperti halnya asap rokok yang langsung lenyap begitu keluar dari bibirku tersapu oleh angin.

Dengan sorot mata redup tanpa semangat aku kembali melanjutkan film dokumenter Natasha Devi. Handycam itu men-shoot teras rumah Natasha disebuah sabtu pagi yang cerah. Aku ingat bahwa hari itu aku mendapatkan tugas dari kantor untuk memeriksa kesehatan kancab di kota Solo.

Entah kebetulan atau tidak, Natasha pun sedang dikirim perusahaannya untuk meng-approve lahan atau tempat yang akan didirikan sebuah Kondotel. Sebenarnya berbeda beberapa hari, tapi Natasha meminta kepada Perusahaan tempat dia bekerja untuk berangkat ke Solo lebih cepat beberapa hari dari jadwal yang ada agar supaya bisa berangkat bareng aku.

Di sela-sela aku menunggu kekasihku yang sedang berkemas-kemas, aku pun sedikit berbincang-bincang dengan Ibunda Natasha.

“Nak Rey, tolong jaga Nat baik-baik yaa. Kalau bisa buat dia selalu senang, riang, bahagia, dan jangan sampai dia bersedih.. Soalnya.. Ngg.. Ehh.. Gapapa. Gapapa..” pesan perempuan setengah baya yang tak lain dan tak bukan adalah Mama Natasha, dengan sedikit terbata di akhir kalimat.

Wajah yang keibuan penuh dengan kelembutan itu tampak getir walau pun seuntai senyum manis berusaha men-samarkannya. Bening matanya sedikit berkaca walaupun beliau berusaha tegar. Aku yakin ada sesuatu yang berat. Aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan dari akhir ucapannya.

“Iyaa Tante, Rey bakal jaga Natasha kok. Tante jangan khawatir, Nat akan selalu riang bersama Rey..” jawabku mantap sehingga aku berharap wajah perempuan paruh baya itu sedikit lebih cerah dan tenang.

“Terima kasih. Terima kasih Nak Rey kalau begitu.”

“Sama-sama Tante..”

*****

Dengan Kereta Api Prameks, aku dan kekasihku menuju Kota Bengawan untuk melaksanakan tugas kewajiban dari perusahaan kami masing-masing. Naik kereta api tut.. Tuut.. Tuuut.. Siapaa hendak turuuun…

Di Solo kami berdua menginap disebuah Hotel dengan konsep resort and spa yang berada di sebelah bagian barat kota Solo. Hotel yang asri dimana banyak ditumbuhi pohon-pohon tropis. Di bagian Front Office hotel, ada sekelompok Bapak-Bapak tua lengkap dengan blangkon dan beskap pakaian adat yang dikelilingi gamelan, kenong, dan gong untuk memainkan gending jawa. Hmm.. Cara yang cerdik untuk membuat para wisatawan asing semakin betah untuk tinggal di hotel ini.

Bener-bener Hotel yang enak untuk melewatkan masa liburan karena di bagian belakang hotel yang luas itu juga dilengkapi dengan Restauran Kampoeng Ikan. Kemudian ada Restauran Sasono Budjono yang bersebelahan dengan Pipas Bar, ada Poll lengkap dengan Poll Bar-nya juga, Fitness centre, tempat Outbond, dan masih banyak fasilitas yang tersedia.

Aku dan Natasha sepakat membuka satu kamar saja karena selain menghemat budget juga bisa menambah kemesraan dan keromantisan kami berdua. Cihuuyy!!

Setelah check-in kami berdua segera beranjak menuju kamar diantar oleh petugas House Keeping.

“Ini Mas, buat beli rokok..” ucapku seraya memberikan uang 10.000,- sebagai uang tips kepada petugas hotel.

“Terima kasih Mas. Selamat beristirahat..” dan segera berlalu lah petugas hotel itu dari dalam kamar kami setelah menerangkan berbagai fasilitas yang ada dan yang bisa digunakan.

Natasha tampak sibuk mengeluarkan setelan baju dari dalam kopornya sedang aku dengan cuek segera merebahkan badan dan menggeliat keenakan merasakan empuknya kasur hotel bintang lima ini.

“Kok malah males-malesan sih? Emang belum dijemput ya, say?” Tanya kekasihku sambil melangkahkan kaki menuju kamar mandi.

“Bentar lagi Nat..” sahutku cepat. Tangan kananku menggapai remote televisi untuk menyetelnya, dan segera tampak seorang chef perempuan tengah asyik meramu bumbu masakan Ayam Taliwang.

“Yeew malah liat tivi lagi. Dah buruan sana siap-siap ntar keluarnya barengan..” omel Natasha.

“Oke beib!!”

*****

Tepat sekali.. Hari itu kami memang keluar hotel sendiri-sendiri dengan urusan masing-masing. Setelah ber-cipika-cipiki, kekasihku yang cantik itu segera memasuki mobil jemputan rekanan bisnisnya, pun demikian juga denganku yang dijemput orang dari kantor cabang yang mengendarai mobil Innova inventaris kantor.

Hari sabtu ini aku bener-bener sibuk. Hari yang seharusnya menjadi weekend yang santai pun tinggal harapan. Aku masih bergelut dengan bejibun berkas pekerjaan yang harus segera diselesaikan kemudian melaporkan ke kantor pusat. Memang sengaja aku menyelesaikannya cepat-cepat, sehingga aku bisa melewatkan jalan-jalan di Kota Solo bersama Natasha. Tak terasa jam 17.30 aku baru sampai di kamar hotel.

“Hmm.. Natasha sudah pulang..” pikirku karena aku melihat baju tadi pagi yang ia kenakan sudah digantung di dalam lemari kaca.

“Nat.. Natashaa!” ucapku sedikit berteriak.

“Iyaa sayang, ini lagi mandi sekalian ganti baju!” sahutnya dari dalam kamar mandi.

“Pasti lama, dasar cewek..” aku menggerutu kemudian merebahkan tubuh untuk berusaha relax setelah seharian dihantam kepenatan.

Selang beberapa saat..

“Rey, ngantuk ya? Sori lama, hehehee..” terucap suara yang lembut diiringi kekehan lucu. Ternyata Natasha.

“Belum sih, cuma ketiduran aja. Tadi banyak banget yang harus aku kerjain di kantor cabang.”

“Mau kemana sih, Nat? Suiit-suiittt! Duilee cantik banget.” imbuhku sambil memandang Bidadari yang malam ini tampak cantik.

“So pasti laah, hehee.. Rey, laper nih. Ayo makan malem dulu. Nat pengen nyicipin ikan bakar mumpung ada barbeque nih di resto hotel. Percuma dong kalau kamu ga mau, padahal Nat udah dandan cakep kayak gini. Hihihiii..”

“Hehehee.. Baik tuan Puteri. Tunggu yaa, aku mandi dulu..” ujarku sembari menggeliatkan badan untuk meregangkan otot-otot yang kaku.

Aku pun langsung bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh dengan keramas. Setelah selesai mandi, aku cukup mengenakan t-shirt Polo, celana jeans, dan sedikit semprotan parfum dibeberapa sudut bagian tubuhku.

“Duuch gantengnyaa.. Suit-suiit!! Hehee.. Eh jam tangannya dipake dong, biar makin perfect..” bilang Natasha seraya menggamit lenganku berjalan beriringan untuk menikmati acara makan malam.

“Ga pengen nyobain Nasi Liwet atau Cabuk Rambak, Nat?” tanyaku memberikan suggest menu makanan tradisional Kota Solo.

“Ga ahh! Malem ini Nat pengen bakar ikan, Rey..”

“Oke lah. Ikan bakar pasti juga, mammamiaa!!”

Bagian belakang hotel bintang lima ini memang sangat luas, masih ada juga hamparan sawah milik pihak hotel yang dikelola bersama dengan warga masyarakat sekitar. Atmosfer yang ditawarkan di Kampoeng Ikan Restauran memang sangat memukau. Open air dengan gazebo-gazebo yang luas dan sedikit saling berjauhan letaknya, sehingga memberikan kesan yang romantis bagi pasangan yang akan menghabiskan malam di sini.

Kerdip api dari obor yang mengelilingi tempat barbeque menambah suasana benar-benar alami seperti di sebuah desa pelosok yang belum ada listrik.

“Seperti hidup di zaman-zaman kerajaan ya Rey, pake obor segala. Kaya di film Saur Sepuh Brahma Kumbara. Hihihiii..”

“Haha!! Bisa aja kamu, Nat..” aku geli mendengar pernyataan Natasha.

Kerlip jutaan bintang dan sinar rembulan pun leluasa menerpa makhluk-makhluk-Nya yang sedang melewatkan malam di Kampoeng Ikan. Suara dendang irama musik sombrero dari Mexico yang rancak dan dimainkan oleh Home Band Hotel sungguh seolah-olah membuat para pengunjung dipaksa untuk turut bergoyang meliukkan tubuh.

Natasha memilih menu Grill Octopus, Grill Cakalang, sama Shrimp Teriyaki sedang aku memesan Kepiting Bamboo dan Baby Sniper Stroganoff. Untuk sayurnya cukup Kangkung Plecing dan Trancam. Fresh Mineral Water dan Avocado Float kami pilih untuk melancarkan tenggorokan dari rasa seret. Sembari menunggu pesanan makanan datang, kami berdua asyik berbincang dan ngobrol.

“Love you Nat..”

“Love you toO..”

“Gimana urusan kantor? Beres?” tanyaku seraya menatap lekat wajah bulat telur itu.

“Beres sih, cuma ada beberapa hal lagi yang butuh kata sepakat dari kedua belah pihak..”

“Hmm.. Baguslah kalau begitu, Nat. Btw, emang pengen jadi Sales Executive Marketing sampai kapan?” tanyaku kalem dengan senyum dikulum.

“Secepatnya Nat pengen segera berhenti kerja..”

“Hah!!” sahutku kaget.

“Kenapa memangnya?” tanyaku penasaran.

“Karena Nat pengen jadi Presiden Komisaris di perusahaan sendiri. Punya perusahaan property sendiri, udah gitu pengen membahagiakan ortu, baru kemudian menikah, dan menjadi Mama yang baik dari anak-anak kita yang lucu. Yaah.. Istilahnya punya impian untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia dunia akhirat gitu lah, Rey. Aamiin. Hihihiii.. Alangkah indahnya jika semua itu menjadi kenyataan yaa? Duuh jadi malu..” jawab Natasha tentang mimpi, cita-cita, dan harapannya.

“Aamiin.. Pasti bisa terwujud asal dengan tekad yang kuat..” tukasku cepat.

“Semoga aja..” ucapnya lirih.

“Iyaa Nat..”

“Ngg.. Kalau kamu gimana, Rey?”

“Sedang bersaing nih sama kolega kantor..”

“Bersaing? Maksudnya?” kening Natasha berkerut.

“Ada peluang promosi kenaikan jabatan dikantor, Nat. Ada 2 kandidat yang akan memperoleh promosi itu dan akan dikirim ke kantor pusat di Jerman. Tapi dilihat dulu bagaimana kinerja calon yang akan di promosiin itu biar ga malu-maluin ntar. Kedua kandidat itu, aku dan Adrian. Impian ku sih bisa memenangkan promosi itu, terus kerja lebih giat, dapat duit banyak, dan akhirnya nanti juga akan menikah, dan menjadi Papa yang baik dari anak-anak kita yang lucu. Aamiin!”

“Aamiin!!”

“Nat harap semoga impian kita bisa terwujud dan menjadi kenyataan ya Rey. Amien..” tukas Natasha seraya memegangi kening. Pusing.

“Amiin. Eh.. Pusing? Obatnya diminum aja, sayang..” saranku padanya.

Natasha mengangguk.

“Maaf, ini makanannya sudah siap Pak, Bu.” ujar petugas restauran sambil memberikan dan menatakan pesanan makanan kami di atas meja.

“Makasih, Mas..”

“Iya, sama-sama. Selamat makan and have a nice dinner..” balas Waiter hotel yang begitu ramah seraya tersenyum.

Kami mengangguk dan membalas senyumnya.

“Ayo Rey kita hajaar bleehhh!!” Natasha berbinar demi melihat makanan yang masih hangat dan beraroma harum menggugah selera.

“Siaaap!!” jeritku mengimbangi semangat Natasha.

Kami berdua benar-benar seperti orang yang kelaparan. Ngg.. Dibilang rakus juga gapapa deh hehee.. Dalam sekejap dan tak berapa lama kemudian, hidangan itu sudah berpindah tempat ke perut kami berdua. Kenyaang.. Santai-santai sebentar, sebelum aku menawarkan minum kepada Natasha.

“Rey, hujan!!” teriak Sayuti salah seorang anak kost dengan keras. Aku tersentak kaget dari bayang-bayang Natasha setelah mendengar suara teriakan dari mulut Sayuti yang demikian keras.

Aku melongok ke arah jendela kamar kost dan melihat butiran air hujan yang kembali mengguyur rumah kost. Deras.

“Iyaa tauu! Emang kenapa sih pake acara teriak segala?” semburku juga dengan nada keras sambil membuka pintu kamar untuk memasukkan keset biar ga basah terkena guyur air hujan.

“Hehee!! Emang lu ga punya jemuran?” tanya Sayuti seraya mengeringkan kakinya dengan handuk.

“Ga! udah ahh, aku mau tidur dulu. Jangan berisik. Lu main air hujan aja sama Jambul atau nongkrong di tempat Mas Kuriman..” tukasku jengkel sembari menutup pintu kamar dan kembali melihat film dokumenter Natasha Devi.

Terlihat dilayar monitor komputer fade out. Kemudian gambar bergoyang-goyang karena handycam kesayangan Natasha sepertinya sedang di-sett biar bisa untuk merekam secara tepat. Aku menghela nafas dalam-dalam. Meneguk sisa kopi yang pahit, sepahit kumparan takdirku.

Sungguh pilu rasanya hati ini saat aku melihat wajah Natasha yang biasanya cantik, segar, dan ceria itu tiba-tiba terlihat begitu pucat. Kantung bola matanya menghitam. Sorot mata yang biasanya bening dan tajam itu kini telah redup seakan mengisyaratkan bahwa semangatnya untuk hidup pun mungkin sebentar lagi akan padam. Rambut yang biasanya selalu menjadi kebanggaan sekarang menipis. Tampak rontok.

Lensa handycam tepat mengarah ke wajah Natasha yang pucat dan kuyu. Dia mencoba tersenyum. Getir? Sepertinya dia akan berpesan. Terakhir?

“Hai Rey.. Gimana kabarmu di sana? Nat harap kamu baik-baik saja. Hmm.. Pekerjaan lancar kan? –Natasha menghela nafas- Jaga kesehatan selalu ya sayang –sewaktu Nat bilang jaga kesehatan, tampak dia mulai sedikit terisak- dan jangan capek-capek. Eeh.. Tau ga, Rey? Setiap malam tuh Nat selalu kangenin kamu, selalu mikirin kamu, dan teringat semua waktu yang telah kita habiskan berdua. Kemudian juga tentang semua impian dan cita-cita yang kita ingin gapai bersama. Nat pengeeen banget rasanya mewujudkan semuanya bersama kamu, tapiii.. Nat sekarang sakit Rey. Nat sakit!! Nat sekarang sakitt, Rey!!! Hiks.. Hiks.. Hikss.. –tangis Nat akhirnya meledak, histeris! tangannya perlahan menjambak-jambak rambutnya sendiri dengan keras- Rey, mungkin semuanya tak akan terlukis dengan indah. Hiks.. Hiks.. Semuanya ga akan seperti yang kita bayangkan, Rey. Semuanya sia-sia, tinggal harapan. Hiks.. Hiks.. Selama ini Nat mencoba untuk tetap tegar dalam menghadapi kenyataan. –Natasha berusaha menghapus air mata dengan punggung telapak tangannya dan mencoba tersenyum- Tanpa bosan Nat ga pernah lelah untuk terus berdoa dan berharap kembali sehat, namun andaikan cobaan ini datang pada Nat, maka, Nat hanya bisa berdo’a, Ya Tuhan kabulkan lah doaku yang lain, jaga dan bahagiakanlah Ryan Kertagama. Kabulkanlah semua impiannya. Hiks.. Hiks.. Hiks.. –tangis Nat kembali meledak-Say.yang, Ka.kangenin Nat, yaa!!-suara Natasha terbata-bata-”

Gelap. Layar monitor komputer tiba-tiba gelap. Setelah aku diberitahu kalau Natasha kritis dan di opname di ICU, aku yang saat itu sedang tugas di Wakatobi langsung bergegas pulang untuk menjenguk bagaimana keadaan Natasha tercinta. PERSETAN!! dengan promosi ke Jerman!.. PERSETAN!!! Kalau Adrian yang terpilih ke Jerman, ga peduli!.. Aku bener-bener stress saat ini, perasaanku kacau!! AAARRGGGHHHH!!! Semua rekan kerjaku di sana paham dengan apa yang tengah menimpa kekasihku.

*****

Setibanya di Rumah Sakit, aku bertemu dengan keluarga Natasha. Mereka semua terlihat sedih dan lemas tanpa gairah, terlebih Mama Natasha. Kakak tertua Natasha, Mas Kevin, tampak yang paling tegar dan tabah. Dia langsung memeluk seraya menepuk-nepuk bahuku pada saat aku yang tampak kucel ini telah berada di antara mereka. Dia menyuruhku untuk mandi dan berganti pakaian.

“Sebenernya Natasha sakit apa, Mas? Kenapa telat ga diperiksa sejak dari dulu?” tanyaku dengan mata sembab.

“Kamu sering lihat Natasha mengeluh pusing, Rey? Kamu sering lihat dia bawa obat sakit kepala?”

Aku mengangguk, Mas Kevin menghela nafas. Hening..

“Menurut dokter, Natasha terkena Multiple Sclerosis, Rey. Hmm.. Multiple Sclerosis adalah salah satu gangguan autoimun, dimana sistem kekebalan salah sasaran karena melihat sel-sel tubuh sendiri sebagai benda asing, dan menyerangnya. Pada MS, tubuh menyerang mielin yaitu selubung yang melindungi serabut saraf pada sistem saraf pusat. Hasilnya adalah beberapa (multiple) cedera yang menimbulkan bekas luka (sclerosis = pengerasan). Mielin berfungsi mempercepat transfer informasi. Tanpa selubung ini, transmisi informasi saraf dari otak ke seluruh tubuh secara bertahap melambat atau terhambat. Hal ini menyebabkan gangguan saraf motorik dan saraf sensorik. Dan kami semua terkejut saat mendengar analisis dari dokter, karena penyakit itu belum diketemukan obatnya. Natasha juga tahu sewaktu medical ceck-up untuk yang pertama kalinya, dia shock berat. Tapi yang membuat kami bener-bener bangga terhadapnya adalah Natasha pantang menyerah dalam menghadapi penyakitnya, dia selalu optimis, optimis, dan optimis kalau segala macam penyakit pasti bisa disembuhkan!! Natasha sengaja menyembunyikan penyakitnya dari kamu 1 tahun terakhir ini dengan tujuan agar kamu tidak ikut bersedih, agar suatu saat dia bisa tersenyum saat memberikan surprise ke kamu kalau selama ini dia telah berhasil sembuh dari penyakit maut yang belum ditemukan obatnya. Huuftt!! Tapi takdir berkata lain Rey!” terang Mas Kevin yang membuatku begidik merinding mengetahui perjuangan maha berat yang dihadapi Natasha, kekasihku itu selama ini.

“PRAAA.. AAANGGG!!!” gelas berisi kopi hitam Pak Sronto jatuh dari atas meja, tersenggol tanganku. Jatuh berkeping-keping seperti kepingan hatiku yang sekarang tak mungkin bisa utuh lagi, walau disatukan kembali.

Aku langsung bangkit untuk membersihkan gelas kopi tersebut agar pecahan dari kaca gelas tidak melukai siapa saja yang memasuki kamar ini nantinya. Karena pasti akan terasa perih, seperih hatiku. Untung kopinya sudah habis dan hanya menyisakan ampasnya saja.

“Ada-ada aja nih..” gerutuku setelah semuanya kelar aku bersihin.

“Natasha Devii..” gumamku lirih saat mataku melihat scence lanjutan bahwasanya dilayar monitor komputer itu terlihat Natasha yang tergolek berbaring lemah tanpa daya. Wajahnya pucat. Sangat pucat.
Kekasihku terbaring pasrah di sebuah ruang steril layaknya sebuah ruang penghakiman. Tubuhnya kurus. Terdapat banyak macam selang yang terpasang di sekujur tubuhnya. Selang oksigen untuk pernafasan, selang infus, alat untuk mengukur detak jantung, alat yang ditempelkan di kedua kening Natasha, selang untuk urinoir, dan masih banyak lagi selang-selang yang lain, yang aku ga tau. Hatiku tersayat, aku begitu miris melihatnya.

“Seperti yang kamu liat sekarang, inilah keadaan adikku yang sebenarnya, Rey. Sudah ga ada lagi Natasha yang ceria, Natasha yang lucu, Natasha yang selalu merajuk manja ke Mama dan Kakak-kakaknya, dan Natasha yang selalu cemberut ngambek saat dikerjain disuruh masak. Yang ada, sekarang ini adalah Natasha yang bak seorang pesakitan yang tengah menanti keputusan vonis dari hakim agung yang seagung-agungnya, Tuhan. Apakah akan disembuhkan, ataukah akan diambil nyawanya..”

Mas Kevin tak kuasa untuk tidak menangis. Tangisku pun pecah. Aku menyadarinya, boleh dibilang kalau sekarang adalah saat-saat terakhir yang sangat krusial. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi melainkan cuma terdiam dalam gelisah. Berdoa, dan menunggu keajaiban hanya itu yang aku mampu. Ternyata begitu sulit kalau harus menerima kenyataan bahwa hubungan kami akan berakhir.

Ya Tuhan.. Kenapa jalan yang Engkau pilihkan untuk kami berdua harus se-tragis ini?? Engkau yang Maha Adil, ternyata tidak adil!!! Katanya Engkau juga yang Maha Penyayang, tapi manaa???

Firasatku benar adanya. Tak lama beberapa hari setelahnya, tim dokter yang menangani Natasha mendatangi pihak keluarga dan ikut menyampaikan rasa duka, rasa belasungkawa yang mendalam atas meninggalnya Natasha Devi. Tim dokter sudah berusaha melakukan yang terbaik, akan tetapi Tuhan mempunyai rencana lain, Tuhan lebih memilih untuk memanggil hamba-Nya, Natasha Devi.

Mama Natasha langsung pingsan begitu mendengarnya. Air mataku terus menetes saat mendapati kenyataan yang memang benar seperti apa yang telah dipesankan terakhir Natasha kepadaku, bahwa tak semua impian dan cita-cita akan terlukis dengan indah. Sekarang tak kan ada lagi Natasha di sampingku, dan tak akan pernah ada lagi. Aku seperti tersesat di dalam planet kosong. Hampa. Pandanganku tiba-tiba menjadi gelap. Cahaya-cahaya lampu yang tadinya bergerak berputar dan menyala terang sekarang telah meredup dengan cepat, dan pada akhirnya padam. Aku pingsan.

*****

Aku terbangun. Saat aku terbangun keadaan masih dan tetap gelap. Lampu kamar belum menyala dan sekarang sudah menginjak jam 7 malam. Sayup-sayup suara adzan isya’ terdengar. Saat aku sadar ternyata aku masih di kamar kost, tidak berada di rumah sakit seperti beberapa saat yang lalu ketika mendampingi kepergian kekasihku tercinta dengan berjuta keharuan. Bagaimana aku tidak terharu? Kalau ternyata disaat Natasha tengah berjuang mati-matian melawan maut, dia masih sempat mendoakan aku dengan tulus agar Tuhan mengabulkan semua impian dan harapanku. Hiks.. Hiks.. Hikss..

Layar monitor komputer sudah mati. Sekarang pikiranku begitu kusut setelah menggali jejak impian dan harapan yang selama ini telah terkubur didalam keabadian bersama Natasha. Hmm.. Ada baiknya aku mandi saja untuk menyegarkan badan dan pikiran, setelah sebelumnya aku menghidupkan Winamp, dan perlahan lagu dari group band Bunga yang digawangi alm. Galang Rambu Anarki menggema di kamarku yang sepi.

Wajahmu selalu terbayang..

Dalam setiap angan..
Yang tak pernah bisa hilang..
Walau sekejap..
Ingin selalu dekat denganmu..
Enggan hati berpisah..
Larut dalam dekapanmu..
Setiap saat, setiap saat..
Ooh kasih, janganlah pergi..
Tetaplah kau selalu di sini..
Jangan biarkan diriku sendiri..
Larut di dalam sepi..
Kasih, janganlah pergi..
Tetaplah kau selalu di sini..
jangan biarkan diriku sendiri..
Larut di dalam sepi..
Larut di dalam sepi..
Terlelap dalam belaianmu..
Takkan pernah kulepas..
Dalam hidupku kau ada..
Dalam pelukan..
Gemulai setiap gerakanmu..
Membuatku selalu rindu..
Kukecup lembut bibirmu..
Kusayang padamu, kusayang padamu..

Malam harinya disaat para penghuni kost ngumpul, aku berpamitan kepada mereka. Kepada Jambul, Sayuti, Bambang, Ferdi, Agus, Joko, Toni, dan tentunya Sang empunya kost. Ada rasa sesak yang mengalir di rongga dada saat harus menyalami dan memeluk mereka satu per satu untuk berpisah sebelum berangkat ke Bandara. Pak Sronto dan Mas Kuriman juga tampak kaget dan bersedih saat aku pamitan kepadanya.

“Jerman?? Uadoh men thow Mas, leh mu nyambut gawe..” kata Pak Sronto dan Mas Kuriman polos.

“Hehee.. Deket kok Pak, Mas..” jawabku seraya tersenyum.

“Pak kost, bekas kamar Rey tak tempatin yaa..” Agus usul.

“Yeew, penak loh kowe pindah kamar. Aku aja Pak yang nempati kamar Rey. Biar ketularan bisa dapat pacar cantik seperti Mbak Natasha dan cepet dapet gawe setelah lulus kuliah..” Jambul tak kalah ngotot.

SHIIINGGG . . . Aku merinding mendengar Jambul bilang seperti itu. Ahh!! Seandainya engkau tahu apa yang sesungguhnya terjadi, sobat . . .

“Demi stabilitas dan keamanan kost biar aku saja kalau begitu, gimana?” kali ini Sayuti yang urun rembug.

“Gimana gundulmu kuwi, Lee!!” Jambul langsung protes keras.

Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Tersenyum geli saat celoteh lucu terdengar. Tersenyum sedih saat harus berpisah dengan mereka, dan tersenyum pahit saat mendengar Jambul mengucapkan nama seseorang yang dulu pernah merencanakan membangun mimpi dan cita-cita bersamaku.

*****

Seminggu yang lalu aku juga baru saja berkunjung ke kost sobat karibku, Mahardika Jaya, didaerah Selokan Mataram. Yang menegarkan aku semenjak kepergian Natasha Devi sebenarnya adalah Jay. Aku bersyukur, karena aku belum separah dirinya yang sempat linglung pada saat harus berpisah dengan Liz. Cerita cintanya Jay dan aku memang hampir mirip. Namun kisahku dengan Natasha memang lebih Tragis. Dia telah terkubur di lorong keabadian.

“Lagi ngapain, Jay?” tanyaku seraya berjalan kearahnya yang tengah asyik membaca komik Naruto.

“Halo Rey!! Wah tumben ente kemari. Gimana-gimana? Sehat-sehat aja kan? Wah.. Waahh..” cerocos Jay tak karuan.

“Yuhuu, Jay.” Sahutku cool.

“Udah waras kan ente?” Jay tetep aja seperti dulu ga berubah.

“Asem!! dasar kampret!”

“Hahahaa!!” Jay terbahak merasa senang mempunyai sobat karib yang nasibnya ga beda jauh dengannya.

“Ada apa gerangan ente kemari, Rey?” tanya Jay sambil menyulut rokok.

“Rokok, Rey..” tawarnya.

“Udah ada kok..” aku pun ikut membakar rokok dan menghembuskan asap kuat-kuat.

“Masih jadi Layouter, Jay?

“Iyaa Rey. Pengen yang lebih sih sebenernya. Hehee..”

“Hehee.. Disyukurin aja dulu..”

“Iya kok. Selalu berusaha bersyukur atas semua nikmat-Nya..”

“Ngg.. Gimana Liz?” godaku seraya tersenyum meledek.

“Aduuh! Udah deh, ga usah dibahas lagi, napa?” sahutnya sewot.

“Becanda.. Becanda, Jay. Hehe..”

“Iyaa. Btw ada berita apa nih, ente kemari?” tanya Jay berusaha menetralkan air mukanya setelah aku singgung soal Liz.

“Aku cuma mau pamit aja sama kamu, Jay.”

“Hah! Pamit?? Maksudnya?”

“Senin depan aku udah berangkat ke Jerman. Ngg..Doa Natasha bener-bener dikabulkan sama Tuhan, Jay.” Aku terdiam. Mataku menerawang.

“HAH!! APA!!” Jay terdiam sesaat. Kemudian,

“Disaat Natasha berperang melawan maut, dia masih sempet-sempetnya doain buat kebahagiaan ente. Dan senengnya, doanya itu didengar olehNya.. Ckckckckck.. Gila!! Merinding ane, Rey. Ternyata, kisah ente begitu dramatis. Hmm.. Ane juga turut seneng kalau ente berhasil dapat promosi ke Jerman..” imbuh Jay seraya menepuk pundakku.

“Hehee.. Makasih juga Jay udah bantu nyembuhin aku dari luka yang sangat perih kala itu.” Aku teringat Jay yang susah payah menghiburku dengan berbagai macam cara.

“Itulah arti sahabat, prend! Eh, senin depan ane ikut nganter ente ke Bandara, Rey..” tukasnya kemudian.

Setelah ngobrol ngalor ngidul di teras kost-annya, kami beranjak cabut untuk berkeliling kota. Jay tahu persis bahwa sesungguhnya aku masih suka trauma berat saat mendengar nama, dan melihat bangunan rumah sakit yang berdiri di salah satu sudut kota ini. Sebuah rumah sakit tempat dimana Natasha menghembuskan nafasnya yang terakhir untuk menuju ke alam yang kekal. Tempat dimana Natasha harus mengakui bahwa Multiple Sclerosis memang sangat jahat.

“Udah, jangan sedih Rey! Percaya deh, Natasha udah tenang di sana. Dan pasti dia bahagia banget tahu impian dan cita-cita ente ke Jerman terkabul. Iya kan?” Jay menenangkanku.

“Iya, Jay. Thanks..” aku menghela nafas dalam-dalam. Bayang Natasha begitu lekat saat ini.

*****

Adi Sutjipto, International Airport..

Aku diantar Jambul, Sayuti, Pak Sronto, dan Mas Kuriman naik mobil pick-up Pak Sronto yang biasa buat kulakan ke pasar. Tak lupa pula Jay ada di sana.

“Jaga dan bawa diri baik-baik ya Rey!” ucap Jambul langsung memelukku.
“Beres! Lu juga kuliah yang rajin biar cepet lulus..”
“Jangan lupa sama kami-kami, Rey!” Sayuti menimpali.

“Enggak lah Yuut. Kita tetep bisa komunikasi kok..”

“Mas Rey, ati-ati yaa di Jerman. Salam untuk Arjen Robben kalau ketemu. Hehee..” Pak Sronto memang polos dan apa adanya.

“Iyaa, Pak Sronto beres. Ntar sekalian sama Franck Ribbery yaa. Hehee!” sahutku seraya terkekeh.

“Mas Rey pokoke ati-ati di negeri orang yaa. Jaga nama baik bangsa Indonesia..” Mas Kuriman pun tak ketinggalan untuk berpesan. Pesan yang sangat berbobot.

“Hahahaa!! Mas Kuriman bisa aja. Beres Mas. Akan aku buat bangga orang Jerman dengan bangsa Indonesia..” sahutku mantap. Tapi gimana caranya??

Aku melihat wajah terakhir yang turut mengantarku ke Bandara. Sobat karibku, Jay, yang sedang tersenyum. Prihatin? Aku ga tahu.

“Jay.. Hehe. Makasih yaa atas semuanya.”

“Iya, sama-sama, Rey.” Jay memelukku. Aku sedikit terisak.

“Semoga bisa menemukan Natasha yang baru disana..” bisik Jay lirih di telingaku.

Aku mengangguk mantap. Memang benar kata Jay. Natasha adalah kenangan yang terindah buatku dan mungkin butuh waktu lama untuk bisa mendapatkan seseorang yang seperti dia. Tapi aku yakin kalau Tuhan pasti akan memberikan ganti yang lebih baik untukku.

“Ya sudah kawan semua, aku berangkat. Terima kasih banget udah bela-belain nganter sampai disini..” Mereka mengangguk dan membalas lambaian tanganku sebagai salam perpisahan.

Aku melangkah pasti menuju kearah pesawat. Semangatku menggelora. Aku melihat ke langit angkasa biru yang luas dengan wajah penuh optimis sesaat sebelum memasuki cabin pesawat yang dikawal oleh seorang Pramugari cantik. Dari alam sana, bibir Natasha menyunggingkan senyum tulus kepadaku.

Natasha.. Meskipun engkau telah tiada, namun semua ketulusan doa dan semangat juang yang kau tunjukkan telah memberi arti yang begitu dalam, dan semua itu akan selalu hidup abadi didada ini seperti halnya Edelweis..

Auf Wiedersehen meine Liebe, Natasha Devi…
Hoffentlich bist du noch da…
Obwohl sie sind weg…
Aber der Schatten von deinem Lacheln und dein Gesicht wird immer da sein…
das Ende.

The End…
Back To Top